Kolom Editorial : Merawat Marwah PPPK, Dari Provokasi Menuju Apresiasi


Oleh : Ukon Jamiat 

Pemimpin Redaksi Majalah Pendidikan Motekar 

Pernyataan Kepala BKN sekaligus Ketua Korpri PPPK, Prof. Zudan Arif Fakrulloh, yang menyebut “PPPK hadir hanya untuk mengisi kekosongan PNS” bukan sekadar keliru, melainkan juga merendahkan marwah aparatur negara. Ucapan tersebut memicu reaksi keras karena menegasikan fakta bahwa PPPK adalah tenaga profesional hasil seleksi ketat, dengan peran strategis dalam pendidikan, kesehatan, administrasi, dan layanan publik. Saat pemerintah membutuhkan sinergi dan penghormatan terhadap semua aparatur, narasi seperti ini justru menciptakan dikotomi yang berbahaya.

Pernyataan itu seharusnya menjadi cermin bagi kita semua, bahwa penghargaan terhadap PPPK tidak boleh direduksi menjadi sekadar pelengkap birokrasi. Justru di tengah tuntutan pelayanan publik yang semakin kompleks, PPPK hadir sebagai tenaga profesional yang menopang jalannya pemerintahan. Dari sinilah kita perlu meninjau ulang narasi besar tentang eksistensi PPPK: apakah negara akan terus membiarkan mereka dipandang sebelah mata, atau menempatkannya sejajar sebagai pilar aparatur yang sesungguhnya?

Tak mengherankan jika Ketua Umum DPP PPPK RI, Teten Nurjamil, menyebut pernyataan itu provokatif, sementara Ketua Umum Forum PPPK Dosen dan Tenaga Kependidikan (Fopditi), Yumnawati, mengecam keras karena dianggap tidak mencerminkan penghormatan terhadap kontribusi nyata PPPK. Bagi mereka, pernyataan ini melukai harga diri para aparatur yang setiap hari bekerja melayani masyarakat.

Padahal, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Guru PPPK menghidupkan kembali ruang-ruang kelas yang kekurangan tenaga pendidik. Tenaga kesehatan PPPK menjadi garda depan di puskesmas dan rumah sakit daerah. Aparatur PPPK di kantor pemerintahan memastikan administrasi berjalan. Bahkan banyak di antaranya terlibat dalam digitalisasi birokrasi dan inovasi pelayanan publik. Apakah itu sekadar “mengisi kekosongan”? Jelas tidak.

Masalah utama terletak pada narasi. Kata-kata seorang pejabat publik membentuk persepsi. Jika narasi yang dibangun merendahkan, maka dampaknya melemahkan semangat jutaan PPPK. Sebaliknya, bila narasi yang diusung adalah apresiatif, maka energi positif akan tumbuh, menciptakan kolaborasi antara PNS dan PPPK dalam membangun birokrasi yang lebih modern, tangguh, dan adaptif.

Penutup

PPPK bukanlah tenaga cadangan, melainkan aparatur profesional yang lahir dari seleksi ketat dan pengabdian nyata. Mereka adalah mitra strategis bangsa dalam pendidikan, kesehatan, administrasi, dan pelayanan publik. Mereduksi eksistensi PPPK sama dengan meremehkan fondasi birokrasi modern Indonesia.

Sudah saatnya pemerintah merawat marwah PPPK dengan narasi penghormatan, bukan reduksi. Karena di pundak mereka, bersama PNS, terletak harapan akan layanan publik yang adil, inovatif, dan bermartabat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Edufair SMPN 3 Cileunyi: Bantu Siswa Kelas 9 Tentukan Pilihan Masa Depan

Penutupan P5 di SMP Negeri 3 Cileunyi: Siswa Unjuk Karya dalam Kegiatan Kewirausahaan "My Handmade, My Money"

SMPN 3 Cileunyi Gelar Kegiatan Hari Peduli Sampah Nasional 2025 : Wujud Nyata Kepedulian terhadap Lingkungan