Editorial : Tragedi Banjaran, Cerita Luka Sosial Kita


Oleh : Ukon Jamiat, S.E

(Pemimpin Redaksi Majalah Pendidikan Motekar) 

Di Banjaran, kabar duka itu datang bagai luka yang menoreh hati kita semua. Seorang ibu, bersama dua buah hatinya, memilih jalan sunyi yang tak pernah kita bayangkan. Di balik surat wasiat yang ditinggalkannya, tergurat jeritan batin tentang lelah, utang, dan kesepian. Tragedi ini bukan sekadar peristiwa kematian, melainkan potret getir tentang manusia yang terjebak dalam himpitan hidup tanpa ruang untuk bersandar.

Tragedi memilukan yang terjadi di Banjaran, Kabupaten Bandung—seorang ibu berinisial EN yang mengakhiri hidup dengan gantung diri setelah diduga meracuni dua anaknya—menjadi tamparan keras bagi kita semua. Di balik peristiwa tragis ini, tersimpan jeritan batin yang tidak pernah tersampaikan dengan layak, hingga akhirnya pecah dalam bentuk keputusan paling pahit.

Surat wasiat yang ditinggalkan korban menggambarkan kepenatan hidup yang ditimbulkan oleh lilitan utang, tekanan sosial, serta kekecewaan terhadap pasangan hidup. Lebih dari sekadar catatan terakhir, surat itu adalah testimoni betapa rentannya seorang manusia ketika dikepung persoalan ekonomi, beban rumah tangga, dan rasa terasing dari lingkungannya.

Peristiwa ini seharusnya tidak hanya dibaca sebagai kasus kriminal semata. Ia adalah refleksi bahwa banyak keluarga yang bergulat dalam senyap dengan permasalahan keuangan, kekerasan psikis, dan stigma sosial. Namun, mereka kerap tidak memiliki ruang aman untuk bercerita, meminta pertolongan, atau mendapatkan pendampingan.

Ada beberapa pelajaran yang patut kita tarik. Pertama, pentingnya kesadaran kolektif untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kesulitan orang-orang di sekitar kita. Telinga yang mau mendengar bisa menjadi penghalang terakhir sebelum seseorang mengambil langkah fatal. Kedua, dukungan keluarga dan lingkungan harus diperkuat, agar mereka yang sedang berada di titik terendah tidak merasa sendirian. Ketiga, negara melalui aparat dan lembaga sosial perlu lebih serius dalam menghadirkan layanan konseling, bantuan hukum, serta perlindungan bagi mereka yang terlilit masalah keluarga maupun ekonomi.

Kematian seorang ibu dan dua anaknya di Banjaran bukanlah sekadar kabar duka, melainkan alarm bahwa ada lubang besar dalam sistem sosial kita: kurangnya ruang untuk berbagi beban. Kita harus belajar dari tragedi ini agar tidak ada lagi seorang ibu yang merasa hanya kematian yang bisa menghentikan penderitaannya.

Duka Banjaran adalah duka kita bersama. Mari jadikan ini momentum untuk lebih peduli, lebih mendengar, dan lebih hadir bagi sesama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Edufair SMPN 3 Cileunyi: Bantu Siswa Kelas 9 Tentukan Pilihan Masa Depan

Penutupan P5 di SMP Negeri 3 Cileunyi: Siswa Unjuk Karya dalam Kegiatan Kewirausahaan "My Handmade, My Money"

SMPN 3 Cileunyi Gelar Kegiatan Hari Peduli Sampah Nasional 2025 : Wujud Nyata Kepedulian terhadap Lingkungan